Saturday, June 23, 2012

The Original Article for Jakarta Banget Book.

This is the original article that I wrote for Jakarta Banget Book. The reason why I'm putting the article here is because I was quite disappointed by the printed version of my article. I don't know if there's some editing done to the article but some sentences are missing from the original article and somehow changed the meaning of the original sentences. However, I present you with the original article. The uncut version. Enjoy!

Note: my utmost gratitude to Rotary Batavia that has given me the opportunity to be part of the Jakarta Banget project in which the profit will go to the disabled people (you can get the book via @nulisbuku or www.nulisbuku.com). I do hope that this project would give them all the support they need. The project is dedicated for Jakarta City on its 485 anniversary and supported by the Jakartans.


-----------
Jakarta, 10 April 2012, pukul 18.00 – Di sebuah warung kopi franchise terkenal di
Jakarta


Jakarta, mungkin hal pertama yang akan terbersit di benak orang saat mereka
mendengar kata itu adalah, MACET.

Yap, ibukota yang satu ini memang akrab dengan yang namanya macet, apalagi
saat menjelang jam-jam pulang kantor, lalu lintas menjadi semakin padat, belum lagi
jika ditambah dengan hujan yang mengguyur.

Beberapa orang yang enggan terjebak dalam kemacetan itu umumnya memilih
untuk pulang agak larut, hingga jam macet itu berlalu daripada terjebak di dalam
mobil atau di atas motor bersama ratusan pengendara kendaraan bermotor lainnya.
Termasuk saya, meskipun tidak mengendarai kendaraan pribadi, tetap saja saya
memilih untuk sejenak menunggu hingga lalu lintas sedikit mereda.

Duduk di warung kopi ini merupakan hal favorit saya - meskipun sebenarnya tempat
ini lebih terlihat mewah dari sekedar sebuah warung dan bahkan terletak di dalam
sebuah mall, saya tetap lebih suka menyebutnya sebagai warung kopi-. Mengapa?
Karena selain memberikan saya tempat untuk tempat menunggu kepadatan lalu
lintas hingga sedikit mereda, saya menemukan banyak hal menarik yang bisa saya
perhatikan disini.

Pengunjung warung kopi bertaraf internasional ini sangat beragam, sebut aja
serombongan ABG yang baru saja heboh saling menyapa satu dengan yang
lainnya, beberapa eksekutif muda sedang duduk berhadapan dengan laptop
masing-masing nampak sedang berdiskusi mengenai sesuatu, sepasang kekasih
yang sedang kasmaran duduk di sofa sambil bersandar pada satu sama lain dan
berbicara sambil berbisik-bisik dan tertawa-tawa kecil.

Saya tidak terlalu yakin bahwa semua pengunjung warung kopi ini memang
merupakan coffee drinker, sebagian besar mungkin iya, namun sebagian lagi
hanya sekedar nongkrong dan mencari suasana yang nyaman untuk sekedar
menghabiskan waktu, atau menjadikannya sebagai tempat untuk bertemu klien
maupun kolega bisnis.

Dengan kebutuhan eksistensi yang tinggi, masyarakat Jakarta pun tidak lepas dari
berbagai media komunikasi dan social media. Sampai detik ini saya heran bahwa
koyo masih juga belum merupakan produk yang banyak dicari orang melihat begitu
banyaknya orang yang selalu menunduk dan sibuk dengan Blackberry-nya.

Salah satu pemandangan yang saya lihat dari sudut warung kopi ini adalah seorang
ibu muda yang sedang duduk sambil sibuk mengetik sesuatu di Blackberry-nya
sementara di seberangnya duduk seorang baby sitter yang sibuk menyuapi seorang
balita yang sibuk kesana kemari. Sementara sang baby sitter kewalahan, sang ibu
muda tidak juga mengalihkan pandangannya dari layar Blackberry-nya. Sekali dia
berhenti dan mengangkat wajahnya, memandang anaknya yang masih tidak mau
diam, sekedar mengucapkan, “Diam dulu dong, nak. Makan dulu ya.” lalu kembali
sibuk dengan Blackberry-nya.

Saya cuma bisa geleng-geleng melihatnya. Saya bahkan pernah melihat sebuah
keluarga yang duduk di satu meja namun masing-masing sibuk dengan gadget
miliknya. Saya rasa suatu saat nanti, tidak akan ada lagi komunikasi verbal antara
manusia, yang ada hanya saling mengirimkan BBM (Blackberry Messenger) ataupun
pesan melalui media lainnya meskipun saling berhadapan. Mungkin, itu nantinya
gambaran bentuk komunikasi di masa depan, manusia perlahan-lahan akan lupa
bagaimana caranya benar-benar berkomunikasi secara langsung dengan manusia
lainnya.

Di kota metropolitan seperti Jakarta, tak bisa dipungkiri bahwa lifestyle atau gaya
hidup terkadang menjadi sesuatu yang menentukan eksistensi seseorang. Bahwa
menggunakan barang dengan merek tertentu, makan atau minum di tempat-tempat
yang memang sedang happening (baca: populer) dan bahkan memiliki gadget
terbaru dan termutakhir dapat meningkatkan gengsi seseorang itu bukanlah sesuatu
yang asing di Jakarta. Rasanya hidup menjadi lebih indah jika kita tidak ketinggalan
tren yang sedang beredar.

Hal ini tercermin pada gaya ibu-ibu muda sosialita yang riwa-riwi dengan tas
Louis Vuitton edisi terbaru maupun tas Hermes yang limited edition di mall-mall
elit Jakarta. Terkadang mereka mengenakan baju dengan mode terakhir tanpa
mempertimbangkan faktor apakah mereka benar-benar cocok mengenakan baju
dengan model tersebut hanya demi sebuah pengakuan, hal yang paling lucu adalah
ketika melihat mereka mengenakan sepatu mahal yang entah mengapa terlihat
sangat tidak nyaman dikenakan, karena sepertinya mereka kesulitan untuk berjalan
dengan mengenakan sepatu itu.

Melihat kondisi itu saya teringat pada sebuah pepatah yang mengatakan, “too
many people buy things they don’t need to impress the people they don’t even
like” – “terlalu banyak orang membeli hal yang tidak mereka butuhkan hanya untuk
mengesankan orang lain yang bahkan tidak mereka sukai.”

Ironis memang.

Saya kemudian mengecek jam tangan saya, dan waktupun sudah menunjukkan
pukul 20.00, waktunya untuk pulang, semoga lalu lintas sudah tidak sepadat tadi.
Saya mengemasi barang-barang saya dan beranjak pulang meninggalkan warung
kopi itu dan beragam kehidupan yang berlalu-lalang di dalamnya, sebagian kecil
dari kehidupan kota Jakarta yang hingar bingar dimana sisi lain yang kontras di
dalamnya tertutup rapi dalam deretan anak-anak kecil yang mengemis di jalanan,
para pemulung yang hidup di tumpukan sampah dan tangisan dari mereka yang
harus pergi dari tempat tinggalnya karena terkena gusuran.

Jakarta, oh Jakarta.

No comments: